Foto :
Dokumentasi Pribadi (Wawancara dengan Rusmawati)
“Anak nelayan punya masa depan apa? Ujung-ujungnya
juga menangkap ikan dan hidup pas-pasan”
Curhat seorang istri nelayan yang berada di pesisir Serdang
Bedagai Sumatera Utara kepada Rusmawati. Rusmawati yang senang disapa Kak Rus merupakan
perempuan
kelahiran Karang Anyar, 28 Juli 1976. Semenjak tahun 1994, ia sudah aktif dan bergabung di berbagai LSM
Perempuan.
Salah satu LSM diikuti adalah HAPSARI
(Himpunan Serikat Perempuan Indonesia). Organisasi ini berfokus pada pedesaan, membangun sumber daya
manusia terkhusus perempuan serta lingkungan desa.
Tepatnya tahun 1995, Rusmawati melalui HAPSARI
berharap dapat memajukan desa-desa sekitar wilayah tempat tinggalnya seperti desa yang
berada di pesisir pantai Serdang Bedagai. Rasa prihatin ini muncul ketika beliau menapaki
pesisir pantai Serdang Bedagai.
Di tahun 90-an, daerah pesisir ini merupakan wilayah abu-abu, di mana tingkat
kemiskinan masih tinggi dan kesejahteraannya jauh dibanding daerah lain ada di sekitarnya. Usia Rusmawati saat ini tergolong muda, untuk memulai
misi mendirikan Sanggar Belajar Anak.
Menurut Kak Rus, perekonomian desa pesisir akan
meningkat ketika anak-anak atau generasi penerus memiliki tingkat pendidikan
yang baik di masa depan. Pemilihan daerah pesisir sebagai tempat untuk
mendidik anak khususnya di usia dini adalah karena berbagai trauma yang
dirasakan anak-anak nelayan pesisir pantai.
Dulu pesisir Serdang Bedagai
masuk ke dalam wilayah Deli Serdang. Namun, karena cakupan wilayah Deli Serdang
sangat luas maka daerah ini jarang sekali diperhatikan. Perekonomian sangat lemah, sebagian besar
mata pencarian penduduk adalah sebagai nelayan tradisional.
Orang tua lelaki pergi ke laut
untuk mencari ikan dengan pancing atau alat seadanya. Sedangkan si ibu menjadi
Buruh Harian Lepas (BHL).
Penghasilan
yang didapatkan sangat minim, sehingga ibu atau perempuan pada umumnya mencari
tambahan seperti membersihkan sampan nelayan atau mencari sisa panen padi di
kebun orang. Di samping itu, tak sedikit perempuan yang menyemat atap
Trauma Anak Pesisir
Foto
: Kemdikbud.go.id (Masyarakat Pesisir Serdang Bedagai)
Kondisi
orang tua membuat anak-anak
yang masih balita harus terlantar dan dibiarkan bermain seharian. Orang tua
mereka bekerja dari subuh hingga larut malam, sehingga anak usia 6 (enam) tahun
sudah diberi tugas untuk menjaga dan mengurus adik-adiknya.
Anak-anak
nelayan tumbuh tanpa arahan, bahkan banyak terjadi pernikahan di usia dini.
Saat anak perempuan sudah memasuki usia 12 – 14 tahun, maka orang tua sudah
menikahkan mereka agar dapat lepas tanggung jawab untuk mengurusnya. Pemahaman
tentang anak hanya sampai pada melahirkan tidak berkelanjutan untuk mendidik
dan mengarahkan.
Tak
jarang juga anak mengalami trauma yang mendalam saat orang tua atau bapaknya
meninggal dunia di laut. Tantangan di laut sangat berat, apalagi bersaing
dengan kapal besar yang menggunakan pukat harimau untuk menjaring ikan.
Permasalahan
nelayan tradisional dengan nelayan yang menggunakan pukat harimau mungkin sudah
ada sejak dulu. Sehingga nelayan tradisional di tahun 90-an selalu tidak
berdaya. Tak jarang sampan nelayan tradisional dengan sengaja ditabrak hingga
pecah dan karam.
Keselamatan
jiwa nelayan sangat dipertaruhkan, belum lagi hasil tangkapan yang tidak besar
jika dibanding dengan pukat harimau yang juga dapat merusak biota laut. Kondisi
ini menyebabkan trauma yang mendalam untuk anak-anak nelayan.
“Keluarga
nelayan itu kondisinya sangat miris, penghasilan kecil, keselamatan jiwa
terancam jika bertemu kapal besar. Tidak ada jaminan keselamatan saat pergi ke
laut. Jika suaminya meninggal di laut, maka sang istri akan stres dan beban
hidup ditanggung olehnya dan anak-anak pun semakin terlantar.”
Keprihatinan akan istri dan
anak-anak nelayan ini, Rusmawati
membulatkan tekad agar anak-anak nelayan dapat lebih diperhatikan, dididik
serta diberikan motivasi. Karena anak-anak memiliki hak untuk bermain, hak
untuk bahagia dan mendapatkan kesejahteraan.
Melaju di Jalan Rusak
Kondisi
jalan menuju pesisir ternyata tidak semudah yang dibayangkan Kak Rus. Pertama
kali datang ke pesisir dengan motor butut-nya
beberapa kali harus terjebak di jalan. Apalagi saat hujan turun, jalanan
menjadi licin, banyak genangan air.
“Tidak
semua orang sanggup masuk ke daerah pesisir. Akses jalan yang sangat buruk,
medan-nya sangat sulit ditempuh, banyak semak-semak. Apalagi pada saat itu saya
seorang perempuan, ya modal doa saja.”
Tidak
semua perempuan berani melakukan dan menempuh jalan seperti ini, di mana
sepanjang jalan jarak rumah yang satu dengan yang lain berjauhan. Penerangan
jalan sangat minim dan sepulang dari pesisir sekitar Pukul 17.30 WIB dan kadang
sampai di rumah menjelang magrib.
Tak
jarang Rusmawati menginap di
rumah penduduk karena kondisi jalan yang tidak mendukung. Di samping itu,
alasan untuk menginap di rumah agar mengenal lebih dekat keluarga nelayan dan
berbagai aktivitas yang dilakukan dari pagi hingga malam.
Hari
lepas hari, perjalanan ini dilalui tanpa ada rasa jenuh. Setiap pulang dari
daerah pesisir beliau
selalu merenung, apakah usaha yang dilakukan akan membuahkan hasil. Selain
jalan yang sulit ditempuh, ternyata sebagian masyarakat desa pesisir juga menganggap usaha yang dilakukan
perempuan yang memiliki 7 orang anak ini adalah ilegal.
Setiap
bertemu dengan beberapa ibu, mereka menganggap bahwa kegiatan mendidik anak
harusnya peran pemerintah bukan seseorang atau kelompok. Namun, apa pun kendala
yang datang, Rusmawati tetap
berusaha dan optimis bahwa apa yang dilakukannya akan bermanfaat kelak bagi
keluarga nelayan.
Sanggar Belajar Anak
Sialang Buah
Desa
pertama yang didatangi Rusmawati
saat itu adalah Pekan Sialang Buah. Desa yang mayoritas penduduknya sebagai
nelayan. Setelah beberapa kali melakukan pendekatan dengan penduduk, berdiskusi
dengan para ibu dan berbagai usaha yang dilakukan akhirnya di tahun 2003
berdiri Sanggar Belajar Anak (SBA).
“Anak-anak
nelayan ini harus diselamatkan, walaupun usaha yang dilakukan cukup sulit, saya
bersyukur di tahun 2003 sudah berdiri sebuah Sanggar Belajar di Pekan Sialang
Buah.”
Rusmawati
menyampaikan bahwa masih sedikit orang yang peduli dengan masyarakat di luar
sana yang sangat membutuhkan kasih sayang dan pertolongan. Beliau
mula-mula mendirikan kegiatan belajar anak di teras Musholla Al Ikhlas sekitar 6 (enam) bulan. Kemudian Rusmawati bersama teman menghimpun dana secara
sosial untuk membangun sebuah gedung yang sederhana.
Foto : Rusmawati (KB. Mekar Hidayah Desa Kota Pari
kec. Pantai Cermin Tahun 2011)
“Alhamdulillah
selain uang hasil Infaq dan Sedekah maka terhimpun dana dari warga setempat.
Saat itu terkumpul 2,5 Juta, bersyukur pula dari masyarakat setempat ada yang
menyumbang paku, semen, batang kelapa, kayu dan ada juga yang menyumbang tenaga
untuk menyemat atap gedung Sanggar Belajar Anak yang kita dirikan.”
Akhirnya,
jadilah gedung Sanggar Belajar Anak yang sederhana dan saat itu ada 40 anak
yang menjadi anak didik dimulai dari usia 3-6 tahun. Pendekatan Rusmawati dan teman-teman yang dilakukan kepada
anak-anak pada saat itu adalah pendekatan secara emosi.
Banyak
anak nelayan yang trauma karena orang tua yang meninggal di laut, tak hanya itu
kekerasan juga terjadi. Apalagi jika orang tua yang tidak mendapatkan penghasilan
maka anak-anak menjadi korban kekerasan.
Metode
yang dilakukan beliau
adalah membuka diri, menemani anak-anak dengan tulus. Menganggap semua anak
didik sebagai anak sendiri dan menyayangi mereka dengan sepenuh hati.
Alhasil dengan perjuangannya bersama teman-teman seperti Ibu Murni, Ibu Ema
Salmah, Ibu Mardiana, Ibu Lely, Pak Agus, Ibu Yanti serta Kepala Dusun pada
saat itu, maka berdiri 11 sanggar yang berada 4 kecamatan:
- Kecamatan Pantai Cermin : Kelompok Bermain (KB) Mekar Hidayah
- Kecamatan Teluk Mengkudu : KB Melati, Pasir Putih, Assyiddiq, Arrahim,
Assyakirin dan Arrahman.
- Kecamatan Tanjung
Beringin : KB Arrahman
- Kecamatan Perbaungan : KB Assyiddiq, Aisyiyah dan Melati
Foto : Rusmawati (KB.As - Syiddiq bersama
anak-anak Kelompok Bermain)
Sejak semula, niat dan harapan Rusmawati adalah ingin mendirikan ruang belajar untuk anak usia dini sehingga
dinamakan Sanggar Belajar Anak. Ternyata, terdapat undang-undang yang
mengatur tentang pemberian nama untuk pendidikan luar sekolah sehingga Sanggar
Belajar Anak diubah menjadi Kelompok Bermain. Semenjak tahun 2018
pengelolaan Kelompok Bermain tersebut secara keseluruhan diserahkan kepada
Pemerintahan Desa.
Sanggar Belajar Anak Mengembangkan
Sayap
Foto : Rusmawati (Wisuda Awal
Sanggar Belajar Anak)
Tahun
2015, Kelompok Bermain mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp4.000.000 –
Rp5.000.000,- Mulai tahun
2017 hingga sekarang mendapat Bantuan Operasional Penyelenggaraan yang
jumlahnya disesuaikan dengan jumlah murid di setiap Kelompok Bermain.
Kak Rus menyampaikan
bahwa Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia merupakan motivator
terbesar dalam hidupnya.
“Semua
orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah. Hal ini yang membuat saya
selalu bersemangat saat melangkahkan kaki ke daerah pesisir. Saya percaya bahwa
setiap orang memiliki kemampuan untuk mengajar dan dimana pun dapat dijadikan
tempat untuk belajar.”
Oleh
karena itu, tenaga pengajar yang semula membantu Kak Rus untuk mendidik
anak-anak di tahun 90-an adalah ibu rumah tangga atau perempuan desa yang
memberi hati dan memiliki kepedulian terhadap anak-anak. Bahkan guru di jaman
itu, tidak tamat Sekolah Dasar namun memiliki talenta yang luar biasa untuk
mengasuh anak.
Berjalannya
waktu serta jaringan yang dibangun melalui SPPN, maka guru-guru yang tidak
sekolah tersebut termotivasi untuk kembali bersekolah. Hal yang dilakukan Kak
Rus adalah mendaftarkan guru-guru tersebut untuk mengejar paket A dan paket B.
Akhirnya, sampai saat ini sudah ada dua guru yang menyelesaikan perguruan
tinggi.
Di
akhir pembicaraan, wanita yang sedari kecil bercita-cita menjadi seorang guru
ini menyampaikan harapannya pada pemerintah untuk lebih peka terhadap anak-anak
yang menjadi generasi penerus bangsa. Kak Rus menyampaikan bahwa anak Indonesia
harus diselamatkan.
Apalagi
di era digital saat ini anak-anak pesisir sudah terkontaminasi dengan
situs-situs terlarang. Belum lagi, narkoba sudah marak di daerah pesisir
sehingga pencabulan, bulying
dan kekerasan seksual pada anak sering terjadi.
“Saya
sangat berharap hadirnya Kelompok Bermain di daerah pesisir pantai mampu
membantu anak-anak untuk lebih menjaga diri. Selama 2,5 jam kami bisa menjaga
dan memberikan kasih sayang serta mengarahkan orang tua untuk mendidik anak
sebagai penerus keluarga agar kehidupan mereka lebih baik di masa depan.”
Anak-anak
dari keluarga pesisir pantai juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak di
belahan bumi manapun. Sehingga perjuangan yang dilakukan Kak Rus menjadi
motivasi generasi muda saat ini bahwa setiap orang dituntut menjadi ‘khalifah’ dan selalu berbuat tulus
kepada semua orang.
Foto : Rusmawati (Acara Satu
Indonesia Awards 2019 Menjadi Pembicara & Menebar Inspirasi di Palembang)
Apa
yang dilakukan Kak Rus, mendapatkan penghargaan dari pemerintah dan menerima
Apresiasi Bidang Pendidikan di Satu Indonesia Awards Tahun 2011. Saat ditanya,
bagaimana perasaan menerima penghargaan tersebut maka Kak Rus menjawab bahwa
dia tidak pernah menyangka mendapat penghargaan tersebut karena apa yang
dilakukan hanya karena ingin anak-anak nelayan di pesisir dapat terarah dan
terdidik dengan baik.
Foto : Dokumen Pribadi (Foto
Bersama Rusmawati, Sosok Pejuang Pendidikan Anak Nelayan Pesisir Serdang
Bedagai)
Hari
ini, saya sebagai perempuan mendapat banyak pelajaran berharga dari sosok
Rusmawati. Seorang yang sederhana namun memiliki kekayaan hati dan selalu
menaruh kasih sayang untuk anak-anak di sekitar pesisir Serdang Begadai.
Sebagai generasi muda, saya mulai berpikir berbuat apa untuk lingkungan sekitar
saya.
#BangkitBersamaUntukIndonesia
#KitaSATUIndonesia